
Pelaku usaha di sektor pariwisata kini dihadapkan pada dilema baru setelah terbitnya PMK No. 72 Tahun 2025. Di satu sisi, perusahaan telah terbiasa menanggung PPh Pasal 21 karyawan melalui skema gross-up untuk menjaga kesejahteraan pegawai.
Di sisi lain, muncul kebijakan Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (PPh 21 DTP) yang menimbulkan pertanyaan: apakah perusahaan yang sudah menanggung pajak masih berhak mendapatkan insentif tersebut?
Pertanyaan ini sering muncul dalam sesi konsultasi pajak dan pelatihan akuntansi perusahaan. Banyak pemberi kerja khawatir, jika telah menanggung PPh 21 sebelumnya, maka perusahaan tidak bisa memanfaatkan insentif baru ini.
Padahal, pemahaman yang tepat dapat membuat perusahaan memperoleh manfaat ganda: menjaga daya beli pegawai sekaligus mengoptimalkan efisiensi pajak.
Isu PPh 21 DTP Jadi Sorotan Perusahaan Pariwisata
Sektor pariwisata merupakan salah satu bidang usaha yang paling terdampak fluktuasi ekonomi. Saat pemerintah mengeluarkan kebijakan PPh 21 DTP untuk mendukung daya beli karyawan, banyak perusahaan di sektor ini sudah lebih dahulu menanggung pajak penghasilan pegawai sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan motivasi kerja.
Namun, ketika PMK No. 72/2025 hadir, muncul keraguan: apakah perusahaan yang sudah menanggung pajak tetap harus membayar pajak tersebut, ataukah bisa digantikan oleh insentif dari pemerintah? Untuk menjawabnya, perlu memahami substansi kebijakan pajak ini dengan cermat.
Prinsip Dasar PMK No. 72/2025 tentang PPh 21 DTP
PMK No. 72 Tahun 2025 merupakan regulasi yang menetapkan bahwa pemerintah akan menanggung pajak penghasilan karyawan pada sektor-sektor tertentu, termasuk pariwisata, dengan tujuan menjaga stabilitas ekonomi dan konsumsi masyarakat. Namun, ada prinsip penting yang harus diingat:
- PPh 21 DTP tetap dibayarkan oleh pemberi kerja secara tunai kepada karyawan.
Artinya, pemberi kerja tidak boleh hanya mencatat insentif ini sebagai potongan pajak di laporan keuangan, melainkan wajib menyalurkan nominal tersebut secara langsung bersamaan dengan pembayaran gaji. - PPh 21 DTP bukan penghasilan kena pajak.
Insentif yang dibayarkan tidak akan menambah penghasilan bruto karyawan dan tidak akan dikenakan pajak lagi. Hal ini memberi jaminan bahwa pegawai benar-benar menerima penghasilan bersih tanpa tambahan beban fiskal. - Pemberi kerja tetap wajib melaporkan insentif ini dalam SPT Masa PPh 21/26.
Setiap pembayaran tunai PPh 21 DTP harus dicatat dan dilaporkan secara transparan ke Direktorat Jenderal Pajak.
Apakah Perusahaan yang Menanggung Pajak Bisa Mendapatkan Insentif?
Jawabannya bisa, selama memenuhi syarat yang ditetapkan dalam PMK No. 72/2025. Skema gross-up atau pajak ditanggung perusahaan tidak membatalkan hak atas insentif PPh 21 DTP. Perbedaannya hanya terletak pada sumber pembayaran.
Sebelum PMK ini berlaku, perusahaan menggunakan dana internal untuk menanggung PPh 21 karyawan. Setelah adanya insentif DTP, beban tersebut digantikan oleh pemerintah. Namun, pembayaran tetap harus dilakukan oleh perusahaan terlebih dahulu kepada pegawai, kemudian dikreditkan sesuai ketentuan pajak.
Dengan demikian, tidak ada perubahan pada mekanisme pembayaran kepada karyawan. Perbedaannya terletak pada pihak yang menanggung beban akhir pajak: bukan lagi perusahaan, melainkan pemerintah.
Syarat Pegawai yang Berhak atas PPh 21 DTP
PPh 21 DTP tidak otomatis berlaku untuk semua karyawan. Perusahaan perlu menyeleksi pegawai yang memenuhi kriteria berikut:
- Memiliki NPWP dan/atau NIK yang sudah terdaftar dan terintegrasi di sistem DJP.
- Memperoleh penghasilan bruto tetap dan teratur tidak lebih dari Rp10 juta per bulan.
- Bekerja di perusahaan sektor pariwisata yang termasuk dalam daftar penerima insentif sesuai PMK 72/2025.
Perusahaan wajib mencantumkan daftar pegawai penerima insentif dalam pelaporan bulanan PPh 21. Data ini akan menjadi dasar pengakuan bahwa pajak pegawai telah ditanggung pemerintah.
Contoh Hitung PPh 21 DTP Perusahaan Pariwisata
Misalkan seorang staf administrasi di hotel dengan gaji Rp8.000.000 per bulan. Berdasarkan ketentuan PPh 21, tarif pajak atas penghasilan tersebut adalah 5% untuk lapisan penghasilan pertama. Artinya, pajak yang biasanya dipotong adalah Rp400.000 per bulan.
Dalam kondisi normal, perusahaan yang menggunakan skema gross-up akan menanggung beban pajak tersebut sehingga karyawan tetap menerima Rp8.000.000 penuh.
Namun, dengan adanya PPh 21 DTP, perusahaan tetap menyalurkan Rp400.000 sebagai pembayaran tunai kepada karyawan, dan jumlah itu akan dikompensasikan sebagai insentif dari pemerintah.
Hasilnya, karyawan tetap memperoleh take home pay penuh tanpa potongan, dan perusahaan tidak menanggung beban pajak karena biaya tersebut ditanggung pemerintah.
Langkah-langkah Perusahaan untuk Mendapatkan Insentif PPh 21 DTP
Agar tidak salah langkah, berikut panduan praktis yang dapat diikuti oleh perusahaan di sektor pariwisata:
- Pastikan status usaha dan sektor terdaftar sebagai penerima insentif.
Periksa daftar sektor usaha yang ditetapkan dalam PMK 72/2025. - Verifikasi data karyawan.
Pastikan seluruh pegawai penerima memiliki NPWP/NIK valid dan penghasilan di bawah batas ketentuan. - Lakukan perhitungan PPh 21 seperti biasa.
Hitung besaran pajak yang seharusnya dipotong, lalu bayarkan secara tunai kepada karyawan. - Catat dan laporkan dalam SPT Masa PPh 21/26.
Laporkan seluruh karyawan penerima PPh 21 DTP agar dapat diverifikasi oleh DJP. - Klaim insentif sesuai mekanisme yang berlaku.
Gunakan sistem pelaporan elektronik DJP untuk mengajukan klaim atau kompensasi atas pajak yang telah ditanggung pemerintah.
Dalam praktiknya, kesalahan administratif sering menjadi hambatan utama bagi perusahaan dalam memanfaatkan insentif pajak. Kesalahan kecil, seperti data pegawai tidak sinkron dengan sistem DJP, bisa menyebabkan klaim insentif ditolak. Untuk itu, penting bagi perusahaan untuk mendapatkan pendampingan profesional.
Bekerja sama dengan Trust Tax Consultant selaku penyedia jasa konsultan pajak Bali yang berpengalaman dapat membantu perusahaan memahami teknis pelaporan, memastikan kelayakan insentif, dan menghindari risiko sanksi akibat kesalahan administratif. Pendampingan ahli pajak juga memastikan proses perhitungan sesuai regulasi terbaru dan dokumentasi pelaporan tersusun rapi.
Tantangan Implementasi di Lapangan
Walaupun kebijakan ini memberikan manfaat besar, penerapannya tetap memerlukan koordinasi internal yang baik antara bagian HR, keuangan, dan pajak. Beberapa tantangan yang sering dihadapi antara lain:
- Data karyawan tidak terupdate pada sistem DJP.
- Perbedaan perhitungan antara payroll dan software pajak.
- Kurangnya pemahaman mengenai batasan penghasilan yang memenuhi syarat DTP.
Perusahaan yang proaktif melakukan audit internal dan pembaruan data karyawan setiap bulan akan lebih siap memanfaatkan insentif ini tanpa kendala.
Kebijakan PPh 21 DTP bukan hanya soal keringanan fiskal, tetapi juga strategi mempertahankan stabilitas finansial. Dengan memanfaatkan insentif ini, perusahaan dapat mengalokasikan dana yang sebelumnya digunakan untuk menanggung pajak ke kebutuhan produktif lain seperti pelatihan pegawai, peningkatan fasilitas, atau inovasi layanan.
Selain itu, penerapan kebijakan pajak yang transparan juga meningkatkan kepercayaan karyawan terhadap perusahaan. Pegawai akan merasa lebih dihargai karena mendapatkan take home pay penuh tanpa potongan pajak, sementara perusahaan tetap mematuhi regulasi yang berlaku.
Baca juga: Cara Bebas Pajak untuk Pekerja Gaji di Bawah Rp10 Juta