
Dalam praktik perpajakan modern, kesalahan sekecil apa pun dapat menimbulkan dampak besar bagi wajib pajak. Banyak pelaku usaha mengira bahwa selama mereka sudah melaporkan SPT tepat waktu, maka kewajiban pajaknya sudah aman.
Padahal, realitanya tidak sesederhana itu. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini memiliki akses ke berbagai sumber informasi dan sistem analitik yang mampu mendeteksi ketidaksesuaian data dengan sangat cepat.
Peraturan terbaru, yakni PER-18/PJ/2025, menegaskan pentingnya memahami apa yang disebut sebagai data konkret pajak. Istilah ini mengacu pada data faktual yang dapat langsung digunakan DJP untuk menghitung kewajiban pajak tanpa perlu verifikasi tambahan.
Bagi pelaku usaha dan individu, memahami jenis-jenis data konkret bukan hanya soal patuh hukum, tetapi juga strategi perlindungan diri dari potensi pemeriksaan pajak.
Mengapa Data Konkret Pajak Semakin Diperhatikan
Kemajuan teknologi membuat sistem perpajakan semakin transparan. DJP kini dapat mengaitkan berbagai sumber data, mulai dari faktur elektronik, laporan keuangan, transaksi perbankan, hingga data lintas lembaga pemerintah.
Dalam konteks ini, data konkret menjadi “senjata utama” DJP untuk menilai apakah pelaporan pajak sudah sesuai dengan realita bisnis.
Sebagai contoh, ketika DJP menemukan selisih antara data faktur yang masuk di sistem mereka dan laporan SPT yang Anda ajukan, maka selisih tersebut langsung dianggap sebagai data konkret atau bukti yang cukup untuk dilakukan klarifikasi atau pemeriksaan. Karena itu, wajib pajak perlu tahu apa saja jenis data konkret yang bisa menjadi sorotan.
Delapan Jenis Data Konkret Pajak Menurut PER-18/PJ/2025
Berikut penjabaran lengkap mengenai delapan bentuk data konkret yang harus diwaspadai oleh setiap wajib pajak di Indonesia.
1. Kompensasi PPN yang Tidak Didukung Dokumen Valid
Jika Anda mengklaim kelebihan bayar PPN dan menggunakannya untuk mengompensasi masa pajak berikutnya, klaim tersebut wajib disertai bukti pendukung yang lengkap. Misalnya, SPT Masa PPN periode sebelumnya dan dokumen pendukung transaksi. Tanpa itu, DJP dapat menganggap kompensasi tersebut tidak sah dan memasukkannya sebagai data konkret.
Contoh: Sebuah perusahaan mengklaim kompensasi PPN sebesar Rp75 juta tanpa melampirkan daftar faktur pendukung. Sistem DJP tidak menemukan validasi faktur, sehingga kompensasi dianggap tidak dapat dibenarkan.
2. Penggunaan Pedoman Pajak Masukan oleh Pihak yang Tidak Memenuhi Kriteria
Pedoman pengkreditan pajak masukan hanya boleh digunakan oleh sektor atau entitas tertentu sesuai ketentuan DJP. Bila digunakan oleh pihak yang tidak berhak, hal itu dapat dianggap sebagai penghindaran pajak. DJP akan langsung mencatat pelaporan tersebut sebagai data konkret yang harus ditelusuri lebih lanjut.
3. Ketidaksesuaian Setoran PPN di Muka
Dalam beberapa jenis transaksi, wajib pajak diwajibkan menyetor PPN di muka. Namun, bila jumlah setoran tidak sesuai dengan perhitungan riil (baik karena salah hitung atau kelalaian) maka kondisi ini termasuk dalam kategori data konkret. Kesalahan kecil dalam administrasi bisa menjadi pemicu pemeriksaan menyeluruh.
Contoh: Sebuah kontraktor membayar PPN di muka sebesar Rp30 juta, padahal berdasarkan volume pekerjaan, seharusnya sebesar Rp45 juta. Selisih Rp15 juta otomatis terdeteksi dalam sistem sebagai data konkret.
4. Penggunaan Insentif Pajak Secara Tidak Tepat
Insentif pajak diberikan pemerintah untuk mendukung sektor-sektor tertentu. Namun, penyalahgunaan fasilitas ini (misalnya dengan mengklaim insentif tanpa memenuhi syarat) akan segera teridentifikasi oleh DJP. Data tersebut bisa langsung dijadikan dasar pemeriksaan karena dianggap merugikan pendapatan negara.
5. Pengkreditan Pajak Masukan yang Tidak Sah
Transaksi fiktif atau faktur pajak yang tidak sesuai ketentuan merupakan salah satu sumber utama data konkret. Pengkreditan pajak masukan harus didukung bukti nyata atas pembelian barang atau jasa kena pajak. Jika tidak, DJP akan memasukkannya ke daftar pemeriksaan.
6. Penghasilan yang Tidak Dilaporkan atau Kurang Dilaporkan
Ketidaksesuaian antara bukti potong yang diterbitkan pihak lain dan penghasilan yang Anda laporkan di SPT akan langsung terdeteksi. DJP menggunakan teknologi data matching untuk memeriksa setiap penghasilan yang seharusnya dilaporkan.
Sebagai ilustrasi: Seorang arsitek menerima penghasilan total Rp600 juta dari beberapa proyek, namun hanya melaporkan Rp450 juta dalam SPT Tahunan. Selisih Rp150 juta tersebut akan muncul otomatis dalam sistem DJP dan dikategorikan sebagai data konkret.
7. Data Hasil Keputusan yang Sudah Berkekuatan Hukum Tetap
Ketika sebuah keputusan pajak sudah bersifat final dan mengikat, maka data yang terkandung di dalamnya menjadi dasar hukum yang sah. DJP tidak perlu melakukan klarifikasi tambahan. Misalnya, hasil keputusan pengadilan yang menyatakan ada koreksi pajak tertentu otomatis menjadi data konkret yang digunakan dalam proses pengawasan.
8. Data atau Keterangan yang Sudah Dikonfirmasi Namun Tidak Ditindaklanjuti
Apabila DJP telah mengonfirmasi suatu data kepada wajib pajak melalui surat resmi, namun wajib pajak tidak memberikan tanggapan atau perbaikan sesuai kesepakatan, maka data tersebut langsung berubah status menjadi data konkret. Dalam kondisi ini, DJP menganggap wajib pajak tidak kooperatif.
Dampak Hukum dari Data Konkret Pajak
Keberadaan data konkret memberikan dasar kuat bagi DJP untuk melakukan pemeriksaan atau menerbitkan ketetapan pajak. Ini berarti, wajib pajak tidak bisa lagi mengelak dengan alasan ketidaktahuan. Bahkan, jika data konkret ditemukan berulang kali, DJP dapat meningkatkan level pengawasan menjadi audit komprehensif.
Selain itu, data konkret sering kali menjadi dasar penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Jika tanggapan wajib pajak tidak memuaskan, pemeriksaan bisa berlanjut ke tahap penetapan pajak dengan sanksi administrasi yang cukup besar.
Strategi Wajib Pajak untuk Menghindari Risiko Data Konkret
- Lakukan rekonsiliasi rutin antara laporan keuangan dan SPT Masa.
- Gunakan sistem akuntansi berbasis digital yang terintegrasi dengan e-faktur untuk menghindari selisih data.
- Simpan seluruh dokumen pendukung transaksi minimal selama lima tahun, sesuai ketentuan UU KUP.
- Pastikan pelaporan pajak dilakukan oleh tenaga ahli atau konsultan yang memahami ketentuan terkini.
Dalam praktiknya, banyak perusahaan yang akhirnya bekerja sama dengan konsultan pajak profesional untuk memastikan kepatuhan. Bagi Anda yang berdomisili di Jawa Tengah, menggunakan layanan kantor konsultan pajak Semarang dari Trust Tax Consultant (TTC) dapat menjadi solusi strategis.
TTC memiliki tim ahli yang berpengalaman menangani pelaporan dan audit pajak dengan pendekatan preventif, bukan sekadar reaktif. Pendampingan semacam ini membantu Anda memahami potensi risiko sejak awal dan menjaga reputasi bisnis tetap bersih di mata DJP.
Tips Praktis Menghadapi Pengawasan Berbasis Data Konkret
- Tinjau ulang seluruh transaksi bulanan, terutama faktur dan bukti potong pajak.
- Gunakan dashboard pelaporan pajak digital untuk memantau status faktur dan SPT.
- Jangan menunda klarifikasi dari DJP; tanggapi setiap surat permintaan data dengan cepat dan lengkap.
- Pelajari PER-18/PJ/2025 secara menyeluruh agar Anda memahami hak dan kewajiban terkait data konkret.
- Bangun kebiasaan audit internal minimal setahun sekali agar potensi ketidaksesuaian dapat segera diperbaiki.
Memahami delapan jenis data konkret pajak bukan sekadar soal administrasi, melainkan bentuk kesadaran hukum yang akan melindungi bisnis Anda dari risiko yang lebih besar di masa depan. Dengan disiplin, transparansi, dan dukungan profesional dari Trust Tax Consultant, kepatuhan pajak bukan lagi beban, melainkan investasi kepercayaan jangka panjang bagi keberlangsungan usaha Anda.