
Perkembangan teknologi digital yang kian masif mendorong reformasi dalam berbagai aspek, termasuk dalam sistem perpajakan nasional. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berupaya mengikuti arus transformasi digital dengan menerbitkan regulasi terbaru yang lebih relevan dan adaptif. Salah satu bentuk penyesuaian ini hadir dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2025 yang mengatur tata cara pelaporan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Dengan diberlakukannya peraturan ini mulai 22 Mei 2025, pelaku usaha, baik dalam negeri maupun luar negeri, dituntut untuk memahami dan menjalankan kewajiban perpajakan mereka secara lebih tertib. Terutama bagi entitas digital dengan cakupan transaksi lintas batas, memahami peraturan ini sangat penting untuk menghindari sanksi administratif dan menjaga keberlangsungan operasional bisnis.
Siapa yang Wajib Memungut PPN PMSE?
PER-12/PJ/2025 tidak mengubah kriteria pelaku usaha yang ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Penunjukan tetap berdasarkan dua parameter utama:
- Nilai transaksi pemanfaatan barang atau jasa digital di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam setahun atau Rp50 juta dalam sebulan.
- Jumlah trafik di Indonesia melebihi 12.000 dalam setahun atau 1.000 dalam sebulan.
Apabila salah satu dari kriteria tersebut terpenuhi, maka Direktorat Jenderal Pajak dapat menetapkan pelaku usaha sebagai pemungut PPN PMSE. Penetapan ini berlaku bagi entitas digital baik yang berkedudukan di Indonesia maupun di luar negeri.
Perubahan Utama dalam Pelaporan PPN PMSE
Salah satu perubahan signifikan yang diatur dalam PER-12/PJ/2025 adalah kewajiban pelaporan yang kini dilakukan secara bulanan, menggantikan ketentuan sebelumnya yang bersifat triwulanan. Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN harus disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
Langkah ini selaras dengan integrasi penuh terhadap sistem administrasi Coretax yang baru dikembangkan DJP. Tujuannya adalah untuk meningkatkan transparansi, akurasi, dan efisiensi dalam pengawasan serta pelaporan perpajakan digital.
Format Pelaporan Berdasarkan Jenis Pemungut
PER-12/PJ/2025 juga mengatur penyesuaian format pelaporan berdasarkan jenis pemungut PPN:
1. Pemungut Dalam Negeri
- Menggunakan format SPT Masa PPN Pengusaha Kena Pajak (PKP), atau
- SPT Masa PPN Pemungut dan Pihak Lain.
2. Pemungut Luar Negeri (Non-Resident)
- Menggunakan format SPT Masa PPN PMSE Pihak Lain Luar Negeri sesuai Lampiran J dari peraturan tersebut.
Untuk pemungut luar negeri, format ini mencakup elemen-elemen berikut:
- Nomor dan tanggal bukti pungut.
- Nilai transaksi tanpa PPN.
- Jumlah PPN yang dipungut.
- Data identitas pemanfaat: NPWP atau NIK, nama lengkap, nomor telepon.
- Alamat email pemanfaat.
Masa Transisi dan Kewajiban Pembetulan
DJP memberikan masa transisi hingga 31 Juli 2025 bagi pelaku usaha yang belum siap menyesuaikan sistem pelaporannya dengan Portal DJP. Selama periode transisi ini, pelaporan masih diperbolehkan secara agregat (digunggung). Namun, setelah masa tersebut berakhir, seluruh pelaporan harus dilakukan secara rinci dan lengkap.
Pelaku usaha diwajibkan melakukan pembetulan SPT dengan menyertakan data transaksi yang terperinci untuk setiap konsumen. Langkah ini diperlukan agar validitas data perpajakan tetap terjaga dan tidak menimbulkan potensi pemeriksaan akibat ketidaksesuaian data.
Ketentuan Penyetoran PPN PMSE
PER-12/PJ/2025 memberikan fleksibilitas dalam hal penyetoran PPN untuk pelaku usaha PMSE luar negeri. Penyetoran dapat dilakukan dalam dua bentuk mata uang:
- Rupiah: Menggunakan kurs harian yang ditetapkan Kementerian Keuangan pada tanggal penyetoran.
- Dolar Amerika Serikat (USD): Mengikuti praktik umum dalam transaksi global digital.
Kebijakan ini memberikan kemudahan bagi pelaku usaha lintas negara dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka tanpa dibebani proses konversi mata uang yang kompleks.
Contoh Penghitungan PPN PMSE
Untuk memberikan pemahaman praktis, berikut contoh sederhana perhitungan PPN PMSE:
Studi Kasus: XYZ Digital Ltd., sebuah perusahaan luar negeri penyedia layanan perangkat lunak berbasis cloud, memperoleh transaksi sebesar USD 35.000 dari pelanggan di Indonesia pada bulan Juli 2025. Kurs yang berlaku menurut KMK adalah Rp15.200/USD.
- Nilai Transaksi: USD 35.000 × Rp15.200 = Rp532.000.000
- PPN yang Dipungut (11%): Rp532.000.000 × 11% = Rp58.520.000
Maka, XYZ Digital Ltd. wajib menyetorkan PPN sebesar Rp58.520.000 ke kas negara.
Pencabutan Status Pemungut PPN PMSE
Direktur Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk mencabut penunjukan suatu entitas sebagai pemungut PPN PMSE dengan alasan:
- Sudah tidak memenuhi kriteria nilai transaksi atau jumlah trafik.
- Terdapat alasan administratif tertentu dari DJP.
Pelaku usaha juga dapat secara proaktif mengajukan permohonan pencabutan penunjukan melalui Portal DJP atau kanal resmi lainnya, apabila merasa tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai pemungut.
Mengapa Perlu Konsultan Pajak Profesional?
Mengikuti perubahan regulasi perpajakan digital bukanlah perkara mudah. Perlu pemahaman mendalam terhadap teknis pelaporan, sistem Coretax, serta kebijakan administratif yang terus berkembang. Di sinilah peran konsultan pajak sangat penting, khususnya bagi entitas usaha digital lintas negara.
Jika Anda membutuhkan pendampingan dalam menjalankan kewajiban PPN PMSE secara tepat, bekerja sama dengan konsultan pajak terpercaya di Surabaya seperti Trust Tax Consultant merupakan solusi cerdas. Dengan pengalaman luas dan pemahaman komprehensif terhadap regulasi perpajakan digital, Trust Tax Consultant siap membantu Anda menghindari kesalahan administratif sekaligus memastikan kepatuhan penuh terhadap aturan yang berlaku.
Kesimpulan
PER-12/PJ/2025 merupakan langkah maju dalam menyempurnakan sistem pelaporan dan penyetoran PPN PMSE. Dengan penguatan kontrol administratif, integrasi sistem digital Coretax, serta penyelarasan kebijakan internasional, pemerintah Indonesia berkomitmen menghadirkan ekosistem perpajakan yang adil dan efisien di era digital.
Bagi pelaku usaha digital, mematuhi ketentuan ini tidak hanya soal kepatuhan hukum, tetapi juga mencerminkan tanggung jawab terhadap pembangunan fiskal nasional. Oleh karena itu, memahami setiap aspek dari regulasi ini dan berkonsultasi dengan pihak profesional adalah langkah strategis untuk menjaga keberlangsungan usaha di tengah transformasi digital global.
Baca juga: Cara Menghitung PPN & PPh dari Transaksi Pemerintah