Perbedaan PBB dan BPHTB dalam Transaksi Properti

Mengurus transaksi properti, baik berupa tanah maupun bangunan, sering kali menimbulkan pertanyaan mendasar: pajak apa saja yang harus dibayar? Tidak jarang masyarakat menganggap bahwa setelah melunasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), maka kewajiban perpajakan sudah selesai.

Namun, saat proses balik nama sertifikat atau pengajuan dokumen legal, barulah muncul istilah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang wajib dilunasi. Situasi inilah yang sering membuat transaksi properti menjadi rumit dan berisiko menimbulkan beban biaya tak terduga.

Dalam konteks ini, pemahaman tentang perbedaan PBB dan BPHTB menjadi hal yang sangat penting. Bayangkan Anda sudah menyiapkan anggaran membeli rumah, tetapi tiba-tiba harus menambah biaya besar untuk pajak lain yang sebelumnya tidak diperkirakan.

Kondisi ini bukan hanya menguras keuangan, tetapi juga bisa menghambat proses administrasi jika tidak segera ditangani. Oleh karena itu, mari kita bahas secara mendalam bagaimana kedua jenis pajak ini bekerja, kapan harus dibayar, serta bagaimana strategi agar transaksi properti berjalan lebih lancar.

Mengapa Banyak yang Bingung antara PBB dan BPHTB?

Kebingungan masyarakat biasanya disebabkan oleh kesamaan istilah “tanah dan bangunan” yang muncul di kedua pajak tersebut. Padahal, keduanya memiliki peran berbeda:

  • PBB dikenakan setiap tahun atas kepemilikan atau penguasaan tanah dan bangunan.
  • BPHTB hanya muncul sekali, yaitu ketika terjadi perolehan hak baru (jual beli, hibah, warisan, atau lelang).

Kebingungan ini sering memicu salah perhitungan anggaran, terutama bagi pembeli rumah pertama atau ahli waris yang baru berhadapan dengan kewajiban administrasi pertanahan.

Landasan Hukum yang Membedakan

Agar lebih jelas, mari kita lihat dasar hukumnya:

  • PBB berlandaskan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. Pajak ini bersifat kebendaan, artinya yang menjadi objek adalah tanah dan bangunan, bukan individu.
  • BPHTB memiliki dasar hukum dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 serta diperbarui dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022. Kewenangan pengelolaan BPHTB sebagian besar dilimpahkan kepada pemerintah daerah.

Dengan perbedaan regulasi ini, wajar bila mekanisme pemungutan, tarif, hingga teknis pembayaran keduanya tidak sama.

Subjek dan Objek yang Berlainan

Perbedaan paling menonjol terletak pada siapa yang menanggung dan apa yang dikenakan pajak.

  • Subjek PBB: pemilik atau penghuni tanah/bangunan. Selama masih dikuasai, maka PBB harus dibayar setiap tahun.
  • Subjek BPHTB: pihak yang memperoleh hak baru, misalnya pembeli rumah, penerima hibah, atau ahli waris.
  • Objek PBB: tanah dan bangunan yang dimiliki atau dimanfaatkan.
  • Objek BPHTB: hak kepemilikan atau hak perolehan atas tanah dan bangunan.

Waktu Kewajiban Pajak

  • PBB jatuh tempo setiap tahun, biasanya ditentukan oleh pemerintah daerah melalui Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
  • BPHTB hanya dikenakan sekali, yaitu saat perolehan hak atas properti terjadi. Tanpa bukti pelunasan BPHTB, proses balik nama sertifikat biasanya tidak bisa dilanjutkan.

Dasar Perhitungan yang Berbeda

Keduanya juga memiliki rumus perhitungan yang tidak sama:

  • PBB: menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Dari NJOP kemudian dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP), lalu dikalikan persentase tertentu sebagai Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).Contoh: Jika sebuah rumah memiliki NJOP Rp850.000.000 dengan NJOPTKP Rp15.000.000, dan NJKP ditetapkan 40% maka:NJKP = 40% x (Rp850.000.000 – Rp15.000.000) = Rp334.000.000
    PBB = 0,5% x Rp334.000.000 = Rp1.670.000
  • BPHTB: menggunakan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).Contoh: Seseorang membeli rumah dengan harga Rp600.000.000, sedangkan NPOPTKP di wilayah tersebut Rp70.000.000. Maka:BPHTB = 5% x (Rp600.000.000 – Rp70.000.000) = Rp26.500.000

Perbedaan dasar pengenaan ini menunjukkan bahwa beban pajak bisa sangat bervariasi tergantung lokasi, kebijakan daerah, serta nilai transaksi.

Kendala yang Sering Dihadapi

Beberapa masalah umum di lapangan meliputi:

  • Perbedaan NJOP dengan harga pasar, membuat pajak terasa lebih tinggi.
  • Perbedaan NPOPTKP antarwilayah yang membingungkan.
  • Persyaratan administrasi yang cukup banyak saat mengurus BPHTB.
  • Minimnya informasi bagi masyarakat awam yang pertama kali melakukan transaksi.

Inilah sebabnya banyak orang lebih memilih menggunakan jasa profesional agar tidak salah langkah.

Pentingnya Pendampingan Profesional

Di sinilah peran konsultan pajak menjadi sangat vital. Seorang konsultan dapat membantu menghitung, mengajukan dokumen, sekaligus memastikan bahwa seluruh kewajiban perpajakan tidak terlewat. Lebih dari itu, konsultan juga bisa memberi solusi penghematan pajak yang legal agar beban tidak terasa memberatkan.

Bagi Anda yang berdomisili di Jawa Timur, menemukan konsultan pajak terbaik di Surabaya bisa menjadi kunci kelancaran transaksi. Salah satu yang banyak direkomendasikan adalah Trust Tax Consultant, yang dikenal memiliki tim berpengalaman dan layanan komprehensif untuk transaksi properti.

Tips Praktis Mengelola PBB dan BPHTB

Untuk memudahkan, berikut beberapa strategi yang bisa diterapkan:

  1. Periksa SPPT lebih awal. Jangan menunggu jatuh tempo agar bisa menyiapkan anggaran PBB.
  2. Siapkan dana cadangan untuk BPHTB. Terutama jika Anda membeli rumah, pastikan ada buffer anggaran untuk pajak ini.
  3. Gunakan aplikasi resmi daerah. Banyak pemerintah daerah sudah menyediakan sistem pembayaran online.
  4. Konsultasikan dengan profesional. Langkah ini mengurangi risiko kesalahan administrasi dan potensi denda.
  5. Pahami peraturan daerah. Setiap wilayah bisa memiliki ketentuan berbeda, baik dalam NJOP maupun NPOPTKP.

Dengan langkah-langkah ini, transaksi tanah dan bangunan akan lebih aman, transparan, dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Baca juga: Apa Bedanya PPh Final Jual Beli dan Sewa Properti?

Scroll to Top